Lon Jak U Gampong .....
Setelah beberapa lama memendam rasa, finnaly saya bisa pulang ke kampung halaman tempat saya dilahirkan saat libur Lebaran kemaren....Banda Aceh. Dengan modal bismillah, uangng secukupnya dan niat yang besar, saya pulang kampung dengan mantan pacar saya. Tepatnya saat lebaran ke-3 (Lebaran versi Pemerintah). Tadinya kita akan ke Banda Aceh ramai-ramai..dengan keluarga, mami, adek-adek saya. Tapi karena sesuatu dan lain hal, kita akhirnya berangkat berdua saja, yang diputuskan menjelang keberangkatan kita.Tepatnya setelah makan siang, setelah ketidakjelasan partisipan yang lain.
Saya dan suami hunting tiket, mencari yang murah, antara bus Pelangi dengan Kurnia. Ternyata beda harga hanya sedikit, Rp 10.000,- saja. Kurnia Rp 240.000,- sedangkan Pelangi Rp 235.000,- saat itu (Ini musim Lebaran, saya juga kurang tau harga tiket ke Banda Aceh normalnya berapa). Dengan alasan pasangan sudah pernah naik Pelangi, kita akhirnya memutuskan untuk berangkat naik Kurnia.Hehehe....itu sih alasan aja...
Dengan perjalanan satu malam (kurang lebih selama 12 jam perjalanan), yang memang sudah kita atur sedemikian rupa agar perjalanan efisien dan efektif,kita sampai di stesyen bus Banda Aceh di daerah Lambaro. Dengan naik becak kita langsung singgah di rumah sepupu saya yang letaknya di Ulee Kareng (dengan ongkos Rp 25.000,-..ini juga setelah nanya2 dengan keponakan saya. Dia bilang ongkos becak dari stesyen ke rumah sekitar 15-20 ribuan). Saya hanya mengingatkan jangan lupa lakukan tawar-menawar. Awalnya tukang becak itu memberikan harga 40 ribu, padahal dia juga gak tau rumah sepupu saya itu dimana.
Dikarenakan waktu liburan yang terbatas dan mengingat tujuan awal saya pulang kampung untuk melihat rumah masa kecil saya, maka hanya dengan istirahat setengah jam, kita langsung beres-beres (mandi, ngopi-kita disuguhkan kopi luwak gayo oleh sepupu saya kak Nani, yang suaminya adalah orang Gayo asli-dan mendiskusikan tujuan jalan-jalan kita hari itu).
Tujuan 1- Rumah masa kecil saya
Letaknya di Komplek Meusara Agung Jl Padi Nomor 463, Desa Geu gajah, Keutapang
Jalan masuknya sudah banyak berubah, yang dulunya lebar sekarang menyempit, yang dulunya sawah-sawah sekarang sudah ruko-ruko.Aceh berkembang jauh sejak saya tinggalkan kira-kira 13 tahun yang lalu.
Rumah tempat saya dilahirkan, bermain, belajar selama belasan tahun masih tetap sama. Pun saat rumah-rumah lain sudah berkembang besar, dia tetap seperti itu. Bedanya hanya rumah itu tak lagi jadi milik kami. sedih melihat keadaannya kini, yang tak terawat.Hiks hiks...
Puas menyambangi rumah uwak-uwak, tetangga kami dan memperkenalkan pasangan saya ke mereka, kita pun berangkat menuju tujuan berikutnya.
Tujuan 2- Pantai Lhoknga
Saat saya kecil, hampir setiap minggu kita sekeluarga jalan-jalan ke pantai. Makanya saat pertama pindah ke Medan dan mendapati bahwa jarak untuk sampai ke pantai terdekat adalah 1-1,5 jam (Pantai Cermin), saya heran. Bahkan saat itu saya pikir betapa tidak worth it-nya pantai itu untuk didatangi dengan jarak tempuh yang luama.
Jadi,keinginan saya untuk mendatangi pantai-pantai Aceh yang selalu saya banggakan di depan pasangan dan teman-teman saya, harus saya tuntaskan.
Yang bikin saya takjub, dengan perjalanan yang tidak lagi lama kira-kira hanya sekitar setengah jam, kami sudah sampai di hamparan pantai kawasan Lhoknga. Amazing , saya dibuat takjub karena jarak pantai ke jalan yang tidak sejauuh dulu. Saya ingat, dulu untuk mencapai pantai, mobil kita harus masuk jauh ke dalam. Sekarang hanya dari jendela mobilpun, pantai sudah kelihatan. Serasa di luar negeri. Garis pantainya cenderung lebih pendek, disebabkan karena kejaadian tsunami akhir 2004 lalu. Arus laut yang besar menyapu daratan dan menyisakan daratan sedikit saja.
Lagi-lagi perbandingan muncul, disana,pondok-pondok tidak disewakan jika kita mau duduk-duduk. Cukup pesan kelapa muda sebuah atau rujak aceh, maka makanan yang kita bawa sendiripun bisa kita makan tanpa harus memikirkan berapa biaya sewa pondok yang harus dibayar. Waktu itu modal kita hanya Rp 20.000,- untuk rujak 2 porsi.
Tujuan 3-Ulee Lheu
Mendengar cerita tsunami, buat bergidik. Dari Lhoknga kita melanjutkan perjalanan ke Ulee Lheu. Wilayah yang paling banyak memakan korban tsunami. Kita sempat shalat di Mesjid yang tidak mengalami kehancuran apapun saat bangunan disekitarnya hancur.Sorry,kelupaan motonya. :)
Sepanjang jalan, sepupu saya kak Nani menceritakan cerita tsunami,saat tsunami datang dan meluluh-lantakkan kota Banda Aceh, bahkan anaknya Andi dan Rajib hampir menjadi korban tsunami. Alhamdulillah Allah masih memberikan umur panjang kepada anak-anak kami. Pelabuhan Ulee Lheu merupakan ujung kota Banda Aceh yang akan membawa kita bergerak ke tujuan lain dari Aceh,paradise-nya Aceh saat ini,Sabang. Sayang, saya belum sempat menginjakkan kaki lagi kesana.Ulee Lheu, yang lumpuh karena tsunami berubah total, dari pinggir jalan besar, kita sudah bisa menikmati laut, yang sekarang ini dibatasi dengan bebatuan, katanya agar air laut tidak lagi langsung menerjang daratan. Pada beberapa spot, disediakan permainan air seperti bebek dayung atau sampan-sampan untuk bermain air, waktu saya datang kawasan itu ramai sekali. Untuk yang ingin menikmati wisata kuliner ada bebearapa tempat makan yang layak untuk disambangi, dipojokan jalan dari arah kota saat menuju pelabuhan Ulee Lheu ataupun yang ingin murah meriah, silahkan menikmati jagung tusuk (hihi...ini mah versi saya), dengan rasa yang bisa kita pilih sendiri, pedas atau manis. Kenapa saya bilang jagung tusuk?Karena setiap jagung yang disuguhkan diselipkan 1 tusuk gigi pada sisi jagung yang lain...ah,andai saya foto pasti mengerti maksud saya.Sepiring jagung untuk 5 orang plus sebotol teh botol hanya menghabiskan Rp 55.000,-. Kita bisa menikmati jagung sambil foto-foto berlatar belakang laut atau bebatuan pembatas disertai angin sepoi-sepoi, .Indehoy!
Tujuan 4 : City tour
Seperti yang berkali-kali saya katakan di atas, waktu yang sangat terbatas membuat kami hanya memiliki jadwal yang sedikit untuk menikmati Banda Aceh. Sehabis berkeliling Banda mengitari pantai, laut dan sejenisnya, kami memutuskan untuk berwisat religi ke Mesjid Rayeuk Baiturrahman. Mesjid yang terkenal dengan sejarahnya sejak lama, sejak dibangun pada masa penjajahan Belanda sampai menjadi saksi bisu dan kebesaran Allah SWT saat badai tsunami menerjang. Tempat dimana menjadi benteng perlindungan bagi masyarakat Banda Aceh. Oleh suami saya, yang hobi foto-foto..dia bisa mengambil best point shot akan kemegahan Mesjid Raya tersebut. Saya hampir lupa rasanya berada didalam, tapi dingin sekali dengan lantai marmer dan atap yang tinggi serta kubah-kubah yang besar. Beribadah disana luar biasa.Bayangkan barapa banyak yang shalat disana saat magrib,seperti sedang melaksanakan shalat ied.
Pesan saya, saat memasuki area Mesjid Raya, jangan gunakan baju yang ketat ataupun celana yang ketat, karena bertentangan dnegan hukum syariat yang ada. Dianggap tidak sopan, pada gerbang Mesjid sudah ada himbauan. Jadi sediakan kain pantai atau selendang jika anda berniat mampir disini. Anda tidak akan mau kan diusir oleh petugas yang ada?
Satu lagi yang patut dicoba, jika anda penggemar body painting, di depan gerbang mesjid ada yang menawrkan jasa body painting dari daun hinai, jangan khawatir ini masih bisa dipakai shalat, mulai dari Rp 10.000,- > Murah, meriah dan bikkin cantik jari-jemari anda. Seperti saya...hehe :p
Oh, saya lupa, sorenya kita sempat mampir di PLTD Apung, kapal pembangkit tenaga listrik yang tadinya berada di tengah laut dan terhempas gelombang tsunami sampai ke pemukiman penduduk.Kalau berada disana, akal sehat gak akan bisa bermain, karena ukurannya yang sangat besar. Kapal tersebut meratakan beberapa rumah yang sampai sekarang masih berada di bawahnya. Saya dengar di berita beberapa waktu lalu,saat peringatan 7 tahun tsunami, tadinya kapal itu mau dikembalikan ke asalnya namun oleh Pemerintah setempat, kapal tersebut tetap dibiarkan disitu sebagai monumen tsunami. Buat foto-foto, saat datangnya sore seperti kita, sunsetnya keren..walaupun terus terang saya masih bergidik ngeri saat menaiki kapal tersebut. Satu lagi, pada jam-jam tertentu (saat shalat) pintu masuk akan ditutup. Yang mau beli souvenir baju kaos..jangan khawatir,di atas kapal ada dijual..
Pesan saya tetap berhati-hati saat berada di atas, karena banyaknya orang yang datang tidak jarang kita akan berdesak-desakan saat akan naik dari satu anjungan ke anjungan yang lain karena kapsitas tangga yang hanya muat 1 baris.
Banda Aceh dan Budaya Ngopi-nya
Sejak jaman saya lahir, besar sampai dengan saat ini, ngopi bagi orang Aceh adalah bagian hidup bukan cuma sekedar gaya hidup, seperti kita yang di kota pada umumnya.Dulu, kebiasaan ngopi itu adanya di warung kopi..sejak tsunami, saya perhatikan ngopi tidak lagi di warung kopi yang ukurannya standar tapi sudah lebih berkelas. Tempatnya sekarang di ruko-ruko. Tetap dengan harga yang murah meriah, dan menurut keponakan saya, Andi : jika tidak menyediakan jaringan wifi di warung kopinya, jangan berani buka warung kopi di Banda karena pasti tidak laku. Bisa dibayangin dong ya, betapa murahnya internet disana?
Warung kopi yang terkenal saat ini ada Dhapu Kupi, disini tempat saya nongkrong setelah shalat sampai jam 12 malam dengan modal hanya Rp 7.000-an per orang, terus yang paling pertama memperkenalkan warung kopi di ruko itu ada namanya Kopi Solong.Kata keponakan saya sampai saat ini dia sudah mebuka 3 ruko pada wilayah yang sama dan membuka cabang pada beberapa tempat. Kopi Solong ini yang terkenal dengan warung UK-nya (dibaca Yu-ke). Sebenarnya UK itu sendiri singkatan dari Ulee Kareng, salah satu brand kopi yang lagi famous di sana.Walaupun, lagi-lagi kata keponakan saya Andi, sebenarnya untuk membancuh kopi yang mantap tidak tergantung dari brand kopi tersebut tapi cukup tau cara mencampurnya. He said : untuk mendapatkan kopi yang enak dan harum caranya, bukan menmasukkan air panas ke dalam kopi yang telah dituang pada cangkir/ gelas tapi justru kopinya yang dimasak bersama dengan air tersebut (jangan lupa, gunakan air masak). Betul atau tidak, sayangnya belum saya coba. So, siapapun yang mencobanya, let me know the result ya.
End of Banda Aceh part-1
Saya dan suami hunting tiket, mencari yang murah, antara bus Pelangi dengan Kurnia. Ternyata beda harga hanya sedikit, Rp 10.000,- saja. Kurnia Rp 240.000,- sedangkan Pelangi Rp 235.000,- saat itu (Ini musim Lebaran, saya juga kurang tau harga tiket ke Banda Aceh normalnya berapa). Dengan alasan pasangan sudah pernah naik Pelangi, kita akhirnya memutuskan untuk berangkat naik Kurnia.Hehehe....itu sih alasan aja...
Dengan perjalanan satu malam (kurang lebih selama 12 jam perjalanan), yang memang sudah kita atur sedemikian rupa agar perjalanan efisien dan efektif,kita sampai di stesyen bus Banda Aceh di daerah Lambaro. Dengan naik becak kita langsung singgah di rumah sepupu saya yang letaknya di Ulee Kareng (dengan ongkos Rp 25.000,-..ini juga setelah nanya2 dengan keponakan saya. Dia bilang ongkos becak dari stesyen ke rumah sekitar 15-20 ribuan). Saya hanya mengingatkan jangan lupa lakukan tawar-menawar. Awalnya tukang becak itu memberikan harga 40 ribu, padahal dia juga gak tau rumah sepupu saya itu dimana.
Dikarenakan waktu liburan yang terbatas dan mengingat tujuan awal saya pulang kampung untuk melihat rumah masa kecil saya, maka hanya dengan istirahat setengah jam, kita langsung beres-beres (mandi, ngopi-kita disuguhkan kopi luwak gayo oleh sepupu saya kak Nani, yang suaminya adalah orang Gayo asli-dan mendiskusikan tujuan jalan-jalan kita hari itu).
Tujuan 1- Rumah masa kecil saya
Letaknya di Komplek Meusara Agung Jl Padi Nomor 463, Desa Geu gajah, Keutapang
Jalan masuknya sudah banyak berubah, yang dulunya lebar sekarang menyempit, yang dulunya sawah-sawah sekarang sudah ruko-ruko.Aceh berkembang jauh sejak saya tinggalkan kira-kira 13 tahun yang lalu.
Rumah tempat saya dilahirkan, bermain, belajar selama belasan tahun masih tetap sama. Pun saat rumah-rumah lain sudah berkembang besar, dia tetap seperti itu. Bedanya hanya rumah itu tak lagi jadi milik kami. sedih melihat keadaannya kini, yang tak terawat.Hiks hiks...
Puas menyambangi rumah uwak-uwak, tetangga kami dan memperkenalkan pasangan saya ke mereka, kita pun berangkat menuju tujuan berikutnya.
Tujuan 2- Pantai Lhoknga
Saat saya kecil, hampir setiap minggu kita sekeluarga jalan-jalan ke pantai. Makanya saat pertama pindah ke Medan dan mendapati bahwa jarak untuk sampai ke pantai terdekat adalah 1-1,5 jam (Pantai Cermin), saya heran. Bahkan saat itu saya pikir betapa tidak worth it-nya pantai itu untuk didatangi dengan jarak tempuh yang luama.
Jadi,keinginan saya untuk mendatangi pantai-pantai Aceh yang selalu saya banggakan di depan pasangan dan teman-teman saya, harus saya tuntaskan.
Yang bikin saya takjub, dengan perjalanan yang tidak lagi lama kira-kira hanya sekitar setengah jam, kami sudah sampai di hamparan pantai kawasan Lhoknga. Amazing , saya dibuat takjub karena jarak pantai ke jalan yang tidak sejauuh dulu. Saya ingat, dulu untuk mencapai pantai, mobil kita harus masuk jauh ke dalam. Sekarang hanya dari jendela mobilpun, pantai sudah kelihatan. Serasa di luar negeri. Garis pantainya cenderung lebih pendek, disebabkan karena kejaadian tsunami akhir 2004 lalu. Arus laut yang besar menyapu daratan dan menyisakan daratan sedikit saja.
Lagi-lagi perbandingan muncul, disana,pondok-pondok tidak disewakan jika kita mau duduk-duduk. Cukup pesan kelapa muda sebuah atau rujak aceh, maka makanan yang kita bawa sendiripun bisa kita makan tanpa harus memikirkan berapa biaya sewa pondok yang harus dibayar. Waktu itu modal kita hanya Rp 20.000,- untuk rujak 2 porsi.
Tujuan 3-Ulee Lheu
Mendengar cerita tsunami, buat bergidik. Dari Lhoknga kita melanjutkan perjalanan ke Ulee Lheu. Wilayah yang paling banyak memakan korban tsunami. Kita sempat shalat di Mesjid yang tidak mengalami kehancuran apapun saat bangunan disekitarnya hancur.Sorry,kelupaan motonya. :)
Sepanjang jalan, sepupu saya kak Nani menceritakan cerita tsunami,saat tsunami datang dan meluluh-lantakkan kota Banda Aceh, bahkan anaknya Andi dan Rajib hampir menjadi korban tsunami. Alhamdulillah Allah masih memberikan umur panjang kepada anak-anak kami. Pelabuhan Ulee Lheu merupakan ujung kota Banda Aceh yang akan membawa kita bergerak ke tujuan lain dari Aceh,paradise-nya Aceh saat ini,Sabang. Sayang, saya belum sempat menginjakkan kaki lagi kesana.Ulee Lheu, yang lumpuh karena tsunami berubah total, dari pinggir jalan besar, kita sudah bisa menikmati laut, yang sekarang ini dibatasi dengan bebatuan, katanya agar air laut tidak lagi langsung menerjang daratan. Pada beberapa spot, disediakan permainan air seperti bebek dayung atau sampan-sampan untuk bermain air, waktu saya datang kawasan itu ramai sekali. Untuk yang ingin menikmati wisata kuliner ada bebearapa tempat makan yang layak untuk disambangi, dipojokan jalan dari arah kota saat menuju pelabuhan Ulee Lheu ataupun yang ingin murah meriah, silahkan menikmati jagung tusuk (hihi...ini mah versi saya), dengan rasa yang bisa kita pilih sendiri, pedas atau manis. Kenapa saya bilang jagung tusuk?Karena setiap jagung yang disuguhkan diselipkan 1 tusuk gigi pada sisi jagung yang lain...ah,andai saya foto pasti mengerti maksud saya.Sepiring jagung untuk 5 orang plus sebotol teh botol hanya menghabiskan Rp 55.000,-. Kita bisa menikmati jagung sambil foto-foto berlatar belakang laut atau bebatuan pembatas disertai angin sepoi-sepoi, .Indehoy!
Tujuan 4 : City tour
Seperti yang berkali-kali saya katakan di atas, waktu yang sangat terbatas membuat kami hanya memiliki jadwal yang sedikit untuk menikmati Banda Aceh. Sehabis berkeliling Banda mengitari pantai, laut dan sejenisnya, kami memutuskan untuk berwisat religi ke Mesjid Rayeuk Baiturrahman. Mesjid yang terkenal dengan sejarahnya sejak lama, sejak dibangun pada masa penjajahan Belanda sampai menjadi saksi bisu dan kebesaran Allah SWT saat badai tsunami menerjang. Tempat dimana menjadi benteng perlindungan bagi masyarakat Banda Aceh. Oleh suami saya, yang hobi foto-foto..dia bisa mengambil best point shot akan kemegahan Mesjid Raya tersebut. Saya hampir lupa rasanya berada didalam, tapi dingin sekali dengan lantai marmer dan atap yang tinggi serta kubah-kubah yang besar. Beribadah disana luar biasa.Bayangkan barapa banyak yang shalat disana saat magrib,seperti sedang melaksanakan shalat ied.
Pesan saya, saat memasuki area Mesjid Raya, jangan gunakan baju yang ketat ataupun celana yang ketat, karena bertentangan dnegan hukum syariat yang ada. Dianggap tidak sopan, pada gerbang Mesjid sudah ada himbauan. Jadi sediakan kain pantai atau selendang jika anda berniat mampir disini. Anda tidak akan mau kan diusir oleh petugas yang ada?
Satu lagi yang patut dicoba, jika anda penggemar body painting, di depan gerbang mesjid ada yang menawrkan jasa body painting dari daun hinai, jangan khawatir ini masih bisa dipakai shalat, mulai dari Rp 10.000,- > Murah, meriah dan bikkin cantik jari-jemari anda. Seperti saya...hehe :p
Oh, saya lupa, sorenya kita sempat mampir di PLTD Apung, kapal pembangkit tenaga listrik yang tadinya berada di tengah laut dan terhempas gelombang tsunami sampai ke pemukiman penduduk.Kalau berada disana, akal sehat gak akan bisa bermain, karena ukurannya yang sangat besar. Kapal tersebut meratakan beberapa rumah yang sampai sekarang masih berada di bawahnya. Saya dengar di berita beberapa waktu lalu,saat peringatan 7 tahun tsunami, tadinya kapal itu mau dikembalikan ke asalnya namun oleh Pemerintah setempat, kapal tersebut tetap dibiarkan disitu sebagai monumen tsunami. Buat foto-foto, saat datangnya sore seperti kita, sunsetnya keren..walaupun terus terang saya masih bergidik ngeri saat menaiki kapal tersebut. Satu lagi, pada jam-jam tertentu (saat shalat) pintu masuk akan ditutup. Yang mau beli souvenir baju kaos..jangan khawatir,di atas kapal ada dijual..
Pesan saya tetap berhati-hati saat berada di atas, karena banyaknya orang yang datang tidak jarang kita akan berdesak-desakan saat akan naik dari satu anjungan ke anjungan yang lain karena kapsitas tangga yang hanya muat 1 baris.
Banda Aceh dan Budaya Ngopi-nya
Sejak jaman saya lahir, besar sampai dengan saat ini, ngopi bagi orang Aceh adalah bagian hidup bukan cuma sekedar gaya hidup, seperti kita yang di kota pada umumnya.Dulu, kebiasaan ngopi itu adanya di warung kopi..sejak tsunami, saya perhatikan ngopi tidak lagi di warung kopi yang ukurannya standar tapi sudah lebih berkelas. Tempatnya sekarang di ruko-ruko. Tetap dengan harga yang murah meriah, dan menurut keponakan saya, Andi : jika tidak menyediakan jaringan wifi di warung kopinya, jangan berani buka warung kopi di Banda karena pasti tidak laku. Bisa dibayangin dong ya, betapa murahnya internet disana?
Warung kopi yang terkenal saat ini ada Dhapu Kupi, disini tempat saya nongkrong setelah shalat sampai jam 12 malam dengan modal hanya Rp 7.000-an per orang, terus yang paling pertama memperkenalkan warung kopi di ruko itu ada namanya Kopi Solong.Kata keponakan saya sampai saat ini dia sudah mebuka 3 ruko pada wilayah yang sama dan membuka cabang pada beberapa tempat. Kopi Solong ini yang terkenal dengan warung UK-nya (dibaca Yu-ke). Sebenarnya UK itu sendiri singkatan dari Ulee Kareng, salah satu brand kopi yang lagi famous di sana.Walaupun, lagi-lagi kata keponakan saya Andi, sebenarnya untuk membancuh kopi yang mantap tidak tergantung dari brand kopi tersebut tapi cukup tau cara mencampurnya. He said : untuk mendapatkan kopi yang enak dan harum caranya, bukan menmasukkan air panas ke dalam kopi yang telah dituang pada cangkir/ gelas tapi justru kopinya yang dimasak bersama dengan air tersebut (jangan lupa, gunakan air masak). Betul atau tidak, sayangnya belum saya coba. So, siapapun yang mencobanya, let me know the result ya.
End of Banda Aceh part-1
Comments
Post a Comment